KARET DI KALIMANTAN BARAT PADA PERIODE AKHIR KOLONIAL

KARET DI KALIMANTAN BARAT
PADA PERIODE AKHIR KOLONIAL

          Abad 19 dan 20 merupakan periode-periode penting dalam sejarah Indonesia dimana terdapat kebijakan-kebijakan liberal dan munculnya politik etis di Indonesia. Tentunya kebijakan-kebijakan terhadap swastalah yang kemudian menjadikan Indonesia sebagai produsen komoditi ekspor di dunia.
          Sektor perkebunan menjadi salah satu sumber ekonomi utama bagi penguasa kolonial selain bidang pertambangan meskipun bidang pertambangan tidak terlalu berkembang. Sektor perkebunan itu sendiri mulai diperkenalkan pada periode-periode awal abad 19 dan semakin berkembang ketika masuknya pengusaha-pengusaha swasta sebagai dampak dari sistem ekonomi liberal yang diterapkan.
          Karet menjadi salah satu produk perkebunan yang besar maknanya bagi perindustrian di dunia barat. Sejak dulu karet sudah menjadi komoditas yang penting dalam perkembangan ekonomi Indonesia dan bahkan hingga sekarang karet menjadi komoditas ekspor dan juga untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Peningkatan nilai ekspor karet pada awal abad 20 tentunya mampu memberi sumbangan yang sangat besar bagi perekonomian Hindia Belanda pada saat itu.
          Kalimantan Barat menjadi salah satu kawasan yang patut untuk ditelaah lebih dalam mengenai perkembangan industri karet. Sebagai kawasan yang memiliki karakteristik dan wilayah geografis yang cocok untuk penanaman karet secara luas oleh pihak swasta dan juga pemerintah. Semakin dikenal sejak terjadinya perang kongsi diantara para penambang Cina. Semakin luasnya hasil ekspor karet di wilayah ini tentunya menjadi hal yang dapat dijadikan kajian sebagai salah satu perkembangan industri karet di Indonesia. Periode yang akan dibahas adalah awal abad 20, ketika karet mulai berkembang di Hindia Belanda hingga menjelang kepergian Belanda sebelum diduduki Jepang.
          Tulisan ini akan membahas mengenai perkembangan komoditas dan ekspor karet di wilayah Kalimantan Barat pada periode-periode akhir kolonial. Pertanyaannya adalah bagaimana komoditas karet itu berkembang di daerah ini pada periode akhir kolonial? Siapa saja yang berperan dalam perkembangan itu dan juga bagaimana usaha-usaha yang dilakukan dalam menghadapi depresi ekonomi 1930an.
          Pada periode awal abad 20, karet mulai diperkenalkan di Hindia Belanda. Benih-benih karet mulai dibagikan oleh pemerintah pada tahun 1906-1907 meskipun pada saat itu, karet masih belum terkenal dipasaran dunia. Orang tionghoa menyebarkan benih karet kepada para petani kecil pribumi di pedalaman. Karet mulai mengambil alih peran utama kelapa di Kalimantan Barat.  Harga karet yang melonjak sekitar tahun 1910an membangkitkan minat orang kepada tanaman baru ini dan telihat dalam bentuk meluasnya penanaman ini.
          Jumlah ekspor karet Kalimantan Barat selalu meningkat setiap tahunnya. Meskipun pada saat turunnya harga ataupun ketika depresi ekonomi tahun 1930-an, jumlah ekspor karet selalu meningkat. Meskipun pada awalnya total ekspor karet Kalimantan Barat hanya 2% dari total ekspor Kalimantan Barat pada tahun 1911-1915 tetapi kemudian meningkat hingga 50% pada tahun 1926-1930 seiring dengan semakin luasnya penanaman karet di Kalimantan Barat. Pembatasan yang dilakukan pemerintah mengenai penanaman karet pada tahun 1932, tidak terlalu berpengaruh dalam produksi bebas para petani karet.
Karet terbukti cukup menguntungkan bagi perekonomian rakyat terutama rakyat-rakyat kecil yang mencoba melakukan penanaman karet dan pertanian-pertanian kecil dengan cepat menggantikan hasil hutan sebagai salah satu sumber penghasilan. Pada tahun 1920an, ledakan perniagaan karet mencapai puncaknya. Di Kalimantan Barat, orang-orang Tionghoa mendominasi perdagangan dan industri lokal yang salah satunya adalah karet. Begitu juga dengan orang-orang melayu dan dayak yang mulai menjadi bagian dari perindustrian karet.
          Cara yang dilakukan oleh para petani karet untuk mempertahankan pendapatannya saat harga karet jatuh adalah dengan menanam padi. Penanaman karet yang tidak membutuhkan pekerja yang begitu banyak membuat mereka memiliki waktu luang untuk menanam padi diwaktu yang bersamaan. Ketika harga jatuh, para petani karet ini memiliki cadangan pendapatan dengan kembali ke pertanian. Cara lain yang dilakukan adalah dengan menyadap lebih banyak karet pada saat harga jatuh. Kemudian, mereka juga memberhentikan para buruh upahan mereka dan mempergunakan keluarga sendiri untuk bekerja menyadap pohon karet. Dengan cara itu, petani karet masih mendapatkan penghasilan yang sedikit meskipun harus memproduksi lebih banyak. Hal itulah yang setidaknya membuat mereka dapat bertahan menghadapi krisis ekonomi pada tahun 1930an.
          Perkembangan industri karet di Kalimantan Barat tentunya berawal dari perkembangan pasar dunia yang saat itu sangat membutuhkan karet sebagai bahan industri. Kondisi pasar dunia yang kemudian berdampak pada pertumbuhan ekonomi di daerah Kalimantan Barat. Rakyat pribumi yang tadinya hanya menjadikan padi dan hasil hutan sebagai sumber pendapatan. Kemudian semakin meningkat setelah diperkenalkannya tanaman karet yang menjadi salah satu komoditas utama di daerah ini. Hal ini tidak terlepas dari peran orang-orang Tionghoa sebagai salah satu unsur meningkatnya perekonomian di Kalimantan Barat.
Tingginya ekspor karet Kalimantan Barat juga berdampak besar pada pertumbuhan ekonomi di Hindia Belanda. Pada tahun 1934-1936, karesidenan ini membayar sekitar seperempat dari keseluruhan cukai ekspor karet di Hindia Belanda. Selain itu pada tahun 1937, Kalimantan Barat menyumbangkan sekitar 21% dari keseluruhan ekspor karet di Hindia Belanda. Peningkatan itu berkaitan dengan dibutuhkannya karet pada perang di Eropa.
Peran para petani kecil sangat besar dalam peningkatan ekspor karet di Kalimantan Barat. Namun, hasil dari semua itu sebagian besar diterima oleh pemerintah pusat di Batavia dan para pegawai-pegawai di perusahaan-perusahaan asing. Hasil itu sendiri hanya diterima secara terbatas oleh para petani karet ini. Terlihat sebagai sebuah kondisi yang sampai sekarang masih terjadi di Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA
-      Booth, Ane et al. (eds.), Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1988.
-   Clemens, Adrian et al., Changing Economy in Indonesia: A Selection of Statistical Source Material from the Early 19th Century up to 1940, Vol. 12b: Regional Patterns in Foreign Trade 1911-1940. Amsterdam: Royal Tropical Institute, 1992.
  Heidhues, Mary Somers, Penambang Emas, Petani, dan Pedagang di “Distrik Tionghoa” Kalimantan Barat. Jakarta: Yayasan Nabil, 2008
-   Lindblad., J. Th., Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai Tantangan Baru. Jakarta: LP3ES, 2000.


0 Komentar