MUNCULNYA PRIYAYI BARU

MUNCULNYA PRIYAYI BARU

        Modernisasi menjadi satu hal yang terjadi dalam perkembangan kebudayaan jawa. Modernisasi merubah pandangan kebudayaan jawa yang terlihat sebagai unsur tradisional yang berubah menjadi sesuatu yang berkembang sesuai zamannya. Modernisasi disebabkan semakin banyak dan dalamnya penetrasi kekuasaan yang masuk ke nusantara khususnya dalam masyarakat jawa. Semakin luas penetrasi itu, maka semakin luas pula proses modernisasi yang terwujud sebagai perkembangan sistem pengajaran, industrialisai dan komersialisasi pertanian dan perkebunan, perluasan infrastruktur, perubahan birokrasi dan lain sebagainya.
          Modernisasi ini mengakibatkan pergeseran unsur-unsur tradisional. Unsur traditional di sini dapat dikatakan sebagai nilai-nilai yang sudah berlangsung beberapa waktu di Jawa tanpa ada perubahan yang berarti dan dari waktu ke waktu nila-nilai itu terus berjalan dan semakin menyesuaikan dengan masyarakat pemiliknya. Masuknya nilai-nilai modern atau pengaruh barat yang terlihat susah sekali dibendung perkembangannya. Nilai modern dan tradisional ini menimbulkan benturan satu sama lain yang lalu menimbulkan sebuah kebudayaan baru.
          Perubahan sistem birokrasi akibat perluasannya pendidikan memunculkan apa yang disebut sebagai elite baru. Tentunya perubahan ini mempengaruhi perkembangan kehidupan masyarakat. Pemerintah Belanda mulai membutuhkan birokrasi orang-orang pribumi. Orang-orang awam di luar keturunan darah biru mulai mendapatkan kesempatan untuk masuk dalam suatu birokrasi pemerintahan melalui jalur pendidikan dan dengan kemampuan bahasa belanda. Pekerjaan sebagai guru, jaksa, pegawai pajak dapat mereka rasakan setelah lulus dari pendidikan. Namun, jabatan-jabatan tinggi seperti Bupati tetap dipegang oleh orang-orang berdarah biru. Oleh karena itu, golongan priyayi yang kemudian berkembang menjadi dua yaitu priyayi tinggi dan priyayi rendah. Priyayi tinggi adalah mereka yang memang berdarah biru atau keturunan ningrat sedangkan priyayi rendah adalah mereka yang menempuh pendidikan untuk meningkatkan status sosial mereka.
          Pada awalnya gelar priyayi hanya disematkan untuk masyarakat keturunan ningrat.  Priyayi-priyayi ini adalah birokrat-birokrat yang memiliki unusur-unsur kekerabatan yang menduduki suatu jabatan administrasi di pemerintah kolonial. Sartono kartodirdjo menyebutkan bahwa priyayi ini adalah suatu kelompok sosial yang seolah-olah memonopoli jabatan kepangrehprajaan, terutama jabatan pimpinan dan yang biasanya. Jabatan-jabatan seperti mantri polisi, wedana, asisten wedana akan diduki oleh anak atau keturunan dari priyayi. Untuk itu mereka sejak awal sudah diletakkan dalam lingkungan pangrehpraja untuk persiapan menduduki jabatan-jabatan itu. Para priyayi inilah yang memiliki pengaruh akulturasi langsung yang pada perkembangannya menciptakan suatu elite politik baru yang sekuler dan terpengaruh barat.
          Jalan menuju mobilitas sosial horizontal maupun vertikal setidaknya sedikit terbuka yang kemudian menciptakan dinamika sosial. Konsep magang dan kesempatan menempuh pendidikan di sekolah-sekolah Barat memberikan peluang bagi unsur-unsur dari luar memasuki golongan-golongan yang lebih tinggi meskipun masih sangat selektif.
          Orang-orang yang menempuh pendidikan barat ini dapat dikatakan sebagai priyayi baru. Golongan priyayi lama dan priyayi baru dapat dibandingkan dari aspek asal-usul keluarganya dan faktor kuncinya adalah pendidikan dan jenis pekerjaan yang didapatkan. Para priyayi baru berusaha melakukan asimilasi melalui perkawinan dengan kerabat priyayi lama. Hal itu ditunjukkan sebagai usaha memasuki kelas sosial yang lebih tinggi karena golongan priyayi lama yang sudah jelas berkedudukan. Penerimaan oleh priyayi baru ini membuat lingkungan keluarga priyayi semakin luas dan adanya regenerasi yang memunculkan cendekiawan atau kaum profesional. Sartono kartodirdjo menuliskan bahwa priyayi modern terpaksa membuat adaptasi, tidak lain karena lingkungan dan gaya hidup tradisional masih dominan. Sartono juga mengatakan bahwa Priyayi baru dapat diidentifikasikan sebagai generasi baru yang memiliki karakteristiknya sendiri, yang memiliki watak dan sifatnya sendiri. Hal itu berasal dari hubungannya dengan sosio kultural jawa dan modern.
          Adaptasi yang dilakukan oleh priyayi baru sedikit demi sedikit mengalami perubahan. Pergeseran-pergesaran terjadi dari nilai-nilai yang tradisional menuju nilai-nilai yang modern. perubahan-perubahan ini terjadi secara berangsur-angsur dan perlahan karena ada perbedaan dari cara menjalankan dan pengembangan perubahannya. Sejak abad 19, para priyayi sudah menyesuaikan diri dengan aturan-aturan kolonial. hal itu dilakukan dalam upaya memenuhi harapan-harapan lingkungannya. Sama seperti di abad 19, priyayi modern abad 20 juga beradaptasi dengan aturan ataupun kebijakan kolonial sebagai usaha memenuhi harapan lingkungannya. Untuk itu mereka menuntut pendidikan modern seluas-luasnya yang dipandang sebagai prasarana utama dalam menduduki posisi baru dalam birokrasi.
          Semakin menipisnya nilai-nilai tradisional namun belum sepenuhnya bebas terhadap sistem feodal memunculkan krisis identitas. Para priyayi baru mulai berorientasi ke dalam lembaga-lembaga politik sepert seperti Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Regenten Bond, dan lain sebagainya. Organisasi-organisasi ini diperlukan dalam proses pencarian identitas golongan priyayi baru.
          Semakin luasnya pendidikan, maka semakin luas pula pengikisan terhadap nilai-nilai tradisional. Priyayi-priyayi kecil berusaha menimbulkan semangat nasionalisme dengan pergerakan nasional serta ideologinya sedangkan priyayi gede berusaha mempertahankan posisinya dengan bertindak konservatif dengan pemerintah Belanda. Mereka sebaliknya takut dengan munculnya semangat nasionalisme yang dilancarkan oleh penduduk dan juga priyayi-priyayi kecil karena hal itu dapat mengancam keseimbangan posisi mereka dalam birokrasi. Sebetulnya yang kemudian menggeser dan mencetuskan ideologi mengenai nasionalisme berasal dari priyayi gede sendiri. Mereka yang mendapatkan pendidikan tinggi namun tidak ingin mengikuti jejak keluarganya. Mereka inilah yang menjadi regenerasi kepemimpinan dari generasi tua ke generasi baru.
          Modernisasi kemudian mempengaruhi pola hidup para priyayi baru ini. Mulai dari pakaian tradisional yang sudah digantikan dengan pakaian modern. Hal itu berkaitan dengan fungsi-fungsi dalam masyarakat dan pakaian tradisional dianggap tidak praktis. Pakaian tradisional masih menunjukkan kesan pribumi yang masih melekat. Masalah pakaian masih dijadikan simbol perbedaan. Keberagaman dalam penggunaan pakaian menunjukkan golongan sosial yang modern.
          Selain dalam hal pakaian, modernisasi dalam hal makanan juga terjadi. Konsep orang tua makan terlebih dahulu kemudian baru anak-anak sudah mulai ditinggalkan oleh para priyayi baru. Dalam perkembangannya, sudah mulai dengan makan bersama. Selain itu, tidak hanya masakan jawa yang disajikan tetapi juga masakan-masakan cina dan barat yang dapat dibeli dan seleranya disesuaikan dengan lidah orang jawa. Makanan yang disajikan juga menjadi lambang status dalam masyarakat. Namun terkadang pengaruh barat tidak terlalu mengubah pendirian mereka untuk “makan nasi”.
          Pergeseran-pergesaran nilai tradisional yang disebabkan pengaruh barat. Masuknya unsur-unsur baru dalam masyarakat jawa membawa dinamika sosial yang memberikan dampak pada golongan priyayi. Munculnya elite baru dalam sistem sosial, politik dna kultural menunjukkan semakin terbukanya stratifikasi sosial dalam masyarakat jawa. Golongan priyayi tidak hanya dapat dimasuki melalui hubungan darah, tetapi juga terbukanya kesempatan melalui pendidikan. Namun, dengan adanya pendidikan pengaruh golongan priyayi lama semakin merosot dan kehilangan kewibawaannya.
          Munculnya golongan priyayi baru sebagai akibat perluasannya pendidikan dan akulturasi barat menjadi bukti modernisasi dalam masyarakat jawa. golongan priyayi tidak dapat dipisahkan dair birokrasi kolonial dan runtuhnya kolonial dapat menghancurkan dan menggeser posisi priyayi dalam birokrasi.  Perkawinan yang dilakukan antara priyayi baru dan priyayi lama menjadi percampuran kebudayaan antara budaya jawa dan kolonial. Selain itu, perkawinan itu dapat dianggap sebagai usaha penguatan status dan untuk mempertahankan nilai tradisional.



Sumber
Djoko, Soekiman, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa ( Abad XVIII – Medio Abad XX ), Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000.
Masinambow (ed), Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997.
Sartono, Kartodirdjo, dkk., Perkembangan Peradaban Priyayi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1987.
         
           

          

2 Komentar

  1. Ada suatu tradisi yg pakem..dan ada jg yg bersifat fleksibel..kalau di kaji dari masa lalu dr jaman majapahit mereka sdh pny konsep perubahan bersama..hidup selaras..org jawa acuannya kpd keselaran..

    BalasHapus
  2. Ada suatu tradisi yg pakem..dan ada jg yg bersifat fleksibel..kalau di kaji dari masa lalu dr jaman majapahit mereka sdh pny konsep perubahan bersama..hidup selaras..org jawa acuannya kpd keselaran..

    BalasHapus