EKSPOR
KARET DI KALIMANTAN BARAT
SETELAH MASA PERANG
Periode
setelah perang dunia II menjadi sesuatu yang dianggap penting dimana adanya
transisi antara pemerintah kolonial ke pemerintah Indonesia. Transisi itu jelas
memiliki pengaruh atas perkembangan ekonomi rakyat Indonesia.
Kebijakan-kebijakan yang muncul juga mempengaruhi rakyat apalagi pada saat itu
Indonesia sebagai negara baru harus bisa melakukan pemulihan pasca perang dunia
ke-2 meskipun secara langsung Indonesia tidak memiliki dampak yang serius.
Kalimantan
Barat menjadi salah satu wilayah yang memang menjadi produsen terbesar karet di
Indonesia. Luasnya lahan dan letak geografis yang strategis menjadikan
Kalimantan Barat sebagai tempat yang cocok untuk penanaman karet secara luas
baik itu oleh swasta maupun oleh pemerintah. Selain itu, letak geografis yang
strategis menjadikannya sebagai wilayah ekspor karet yang cukup signifikan
jumlahnya. Sehingga penanaman karet semakin di Kalimantan Barat semakin luas
karena hasil yang menjanjikan. Semakin luasnya lahan karet dan meningkatnya
jumlah ekspor karet di Kalimantan Barat membuat wilayah ini dapat dijadikan
kajian yang menarik dalam hal perkembangan industri dan ekspor karet di
Indonesia. Periode yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah masa-masa setelah
perang dunia II, ketika Indonesia mulai membangun perekonomian sebagai sebuah
negara baru yang merdeka.
Tulisan
ini akan membahas mengenai perkembangan komoditas ekspor karet di wilayah
Kalimantan Barat setelah perang dunia ke 2. Pertanyaannya adalah bagaimana
perubahan-perubahan yang terjadi pada ekspor karet di Kalimantan Barat setelah
perang berlangsung? Selain itu, bagaimana peran pemerintah secara langsung
dalam ekspor karet ini? apakah ada peran asing yang menyertai perkembangan
ekspor karet ini.
Pasca
perang dunia II, perekonomian di Kalimantan Barat masih mengalami kekacauan dan
tahun-tahun setelah itu menjadi waktu pemulihan kolonial karena tidak lama
setelah kemerdekaan Indonesia, Australia yang bertindak atas nama sekutu tiba
di Kalimantan Barat pada tanggal 17 Oktober 1945 yang juga didampingi oleh
Belanda yang menjadi perwakilan awal NICA ( Netherlands Indies Civil
Administration ). Pihak-pihak inilah yang berperan dalam pemulihan perekonomian
di Indonesia termasuk di Kalimantan Barat.
Ekspor
karet menjadi sasaran pemulihan NICA di Kalimantan Barat. Hal itu terlihat dari
pembentukan NIGIEO ( Netherlands Indies Government Import and Export
Organization ) yang bertugas menjaga persediaan pasokan ekspor dan impor. Langkah
lain yang dilakukan adalah perbaikan perkebunan karet dan kelapa. Selain itu,
para produsen dan pedagang harus menyetorkan hasil karet pada agen resmi dengan
harga yang cenderung rendah. Kebijakan ini jelas direspon negatif oleh para
produsen. Inilah yang menjadikan banyak produsen dan pedagang yang mulai
mencari cara lain untuk menjual dan mengeskpor karet mereka termasuk melalui
cara illegal.
Grafik
ini menunjukkan catatan impor Malaya Inggris dan ekspor Kalimantan Barat pada
tahun 1946 dan 1947. Telihat perbedaan yang cukup signifikan antara impor yang
dicatat oleh statistik resmi Malaya Inggris dan ekspor Kalimantan Barat. Jika
dilihat, banyak sekali impor karet oleh Singapura tetapi tidak tercatat dalam
catatan ekspor karet Kalimantan Barat. Penyelundupan memang sengaja dijadikan sebagai
jalan lain dalam menghadapi kebijakan Belanda. Terlalu sedikitnya pengawasan
yang dilakukan oleh Belanda membuat penyelundupan semakin tidak terkendali.
Selain itu, petugas-petugas pengawas tetap ikut terlibat dalam jaringan
transaksi gelap tersebut. Alasan lain penyebab terjadinya penyelundupan adalah
karena harga penjualan karet langsung di Singapura lebih tinggi sedangkan yang
ditawarkan oleh agen resmi Belanda sangatlah rendah. Hal itulah yang terlihat
sebagai usaha resistensi terhadap bentuk kebijakan Belanda.
Dari
grafik tersebut juga terlihar seberapa banyaknya produksi karet yang dimiliki
oleh rakyat Kalimantan Barat yang didominasi oleh perusahaan swasta dan juga
orang-orang Tionghoa. Banyaknya penyelundupan hampir berbanding lurus dengan
berkembangnya produktivitas karet. Para petani berusaha untuk meningkatkan
pendapatannya dengan menyadap karet lebih banyak yang kemudian berpengaruh pada
tingkat penyelundupan.
Pada
periode 1946-1950, peran pemerintah Indonesia masih sangat minim dalam kegiatan
ekonomi di Kalimantan Barat bahkan cenderung tidak ada. Kebijakan secara
langsung berada di tangan pemerintah Asing yang pada saat itu adalah NICA. Pemerintah Indonesia masih menghadapi
revolusi dan berbagai macam pemberontakan yang terjadi di pusat-pusat
pemerintahan di Jawa.
Perekonomian
secara langsung masih dalam kondisi kurang baik. Kebijakan yang diterapkan oleh
Belanda cenderung mengikat pedagang kecil untuk menjual karetnya pada agen-agen
resmi Belanda. Hanya perusahaan-perusahaan besar yang memiliki kontak dengan
para pedagang di Singapura yang bisa melakukan penyelundupan-penyelundupan
dalam jumlah besar. Usaha-usaha yang dilakukan pemerintah Belanda dalam
mengurangi berbagai penyelundupan yang telah terjadi adalah dengan memberikan tawaran-tawaran
kepada para produsen karet berupa barang-barang yang langka sebagai tambahan
bayaran ketika produsen-produsen karet ini menjual karet mereka pada agen resmi
Belanda.
Perkembangan
produksi dan ekspor karet pada masa-masa setelah perang cenderung berkurang
dibandingkan ketika masa-masa sebelum perang. Selain harga yang lebih menurun
dibandingkan kuartal pertama abad 19, ekspor karet pada masa-masa sebelum
perang lebih dipenuhi oleh perkebunan rakyat-rakyat kecil yang juga didukung
oleh kebutuhan pasar dunia yang masih tinggi. Kebijakan Belanda memang tidak
berdasarkan tuntutan ekonomi rakyat dimana selain dengan upah rendah, rakyat
juga harus mengalami kelangkaan makanan dan pakaian. Hal itulah yang menuntut
mereka melakukan penyelundupan meskipun hanya orang-orang tertentu saja yang
bisa memiliki akses tersebut.
Perkembangan
ekspor karet Kalimantan Barat menunjukkan sebuah keberlanjutan dari apa yang
disebut pengintegrasian ekonomi. Pengintegrasian ekonomi sendiri itu muncul sejak
hubungan secara ekonomi secara langsung antara Kalimantan Barat dengan
daerah-daerah di luarnya. Komunikasi itu kemudian tidak hanya di
wilayah-wilayah Hindia Belanda, tetapi juga sudah meluas hingga ke wilayah luar
negeri seperti Singapura dan Sarawak. Berbagai kebijakan NICA dengan tujuan
pemulihan perekonomian ekspor dan impor menunjukkan suatu peran sebagai
pemerintah nasional meskipun pada saat itu, Indonesia sudah memiliki
pemerintahan sendiri meskipun masih dalam tahap pemebentukan awal.
Sumber :
- Heidhues, Mary Somers, Penambang Emas, Petani, dan Pedagang di
“Distrik Tionghoa” di Kalimantan Barat, Jakarta: Yayasan Nabil, 2008
-
Booth, Anne et al., Sejarah Ekonomi Indonesia, Jakarta:
LP3ES, 1988
- Spillane, James J., Komoditi Karet: Peranannya dalam
Perekonomian Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1989
0 Komentar