ISI SENDIRI :)

Kelumpang, sebuah desa di tepian barat kota sekura. Sebuah desa yang membentang di tepian sungai sekura. Dari jauh mata memandang terhampar luas kebun karet dan pepohonan yang membentuk nuansa hijau di iringi suara-suara burung kecil yang bernyanyi sambil terbang tinggi melintasi pohon-pohon yang menjulang, menghijau seperti savana di atas awan. Awan-awan berjalan pelan dan berkumpul di bawah hutan hujan.
Pagi itu suasana cerah. Matahari bersinar dengan indahnya bersatu dengan angin yang berhembus pelan menuju sungai yang mengalir lamban. Sebuah keluarga terlihat bersenda gurau di pelataran rumah mereka. Sembari menyeduh kopi dan teh hangat. Menyemarakkan suasana indah dalam keluarga.
Sebuah keluarga yang sederhana dengan 3 orang anaknya. Kedamaian dan ketenteraman terlihat dari raut wajah mereka. Bercerita dan bercanda tentang sanak keluarga mereka. Salah seorang anak laki-laki tertawa mengikuti candaan yang dilontarkan oleh ibu dan bapaknya. Ia memandang keluarganya, menyimpan keinginan untuk membahagiakan orang tuanya serta adik dan kakaknya. Kemudian dialihkannya pandangan menuju rumah yang menjadi tempat keluh kesahnya. Menjadi tempat tinggal dan makannya selama ini. Ia adalah seorang anak yang meskipun tidak tamat SD namun tetap memiliki tekad dan keyakinan untuk membantu keluarganya. Hari ini menjadi titik awal perjuangannya di kebun kelapa sawit. Mengikuti jejak abang tertuanya yang lebih dulu bekerja hingga ke negeri tetangga untuk membiayai keluarganya. Hari ini menjadi awal pembuktian janji-janjinya terhadap keluarganya. Tekad  dan cita-cita yang kuat jelas terlihat, terpapar dari matanya. Umur yang muda tidak menghalanginya untuk menapak masa depan.
Ketika matahari mulai tinggi menghangatkan ke sebuah desa yang kecil, suasana terasa berubah seakan menghilangkan suasana yang ceria seperti pagi tadi. Pukul 01.00, anak itu berangkat meninggalkan orang tuanya. Pergi meninggalkan dekapan hangat dan senyuman dari orang tuanya. Ia pergi bersama dengan doa orang tuanya. Kakak dan abang iparnya juga turut ikut bersamanya, bekerja di daerah yang sama dengannya. Berusaha untuk menjaga dan merawatnya meskipun ia sudah menjadi pribadi yang kuat dan mandiri.
Ia menuju daerah yang sama sekali belum dikenalnya. Menggunakan mobil yang bergerak kencang melintasi kebun karet yang disinari mentari dan sinarnya menembus di antara celah-celah pohon. Daerah inilah yang nanti akan dirindukannya. Bersama dengan suasana kebun karet serta pala yang dimiliki keluarganya.

Hari-hari perjuangannya segera di mulai. Hari itu, matahari mulai menampakkan sinarnya di ufuk barat. Terlihat jelas di ujung perkebunan. Matahari yang tersipu malu menampakkan sinarnya, membangunkan ia dari tidur lelap sehingga melunturkan semua mimpi-mimpi indah di tidurnya.
Pagi itu amatlah cerah. Halimun tidak setebal biasanya. Sinar matahari menembus celah-celah ranting dan dedaunan, menerangi perkebunan kelapa sawit yang membentang luas di tanah borneo. Anak manusia tadi mulai membangun semangatnya. Kepalanya melihat ke langit-langit pohon yang tertembus cahaya mentari. Pandanganya kuat menuju jalan di antara pohon-pohon kelapa sawit yang akan digarapnya. Pohon-pohon yang menjadi teman kesehariannya untuk memenuhi perutnya serta keluarganya di sana. Sepatu boot dan arit menjadi alatnya menjadi alat yang akan membantunya menggarapa lahan-lahan kelapa sawit.
Ia berusaha mengenal lingkungannya yang baru. Merasakan setiap aura dan atmosfernya. Kini ia menuju pohon yang dirasanya cukup untuk diambil buahnya. Ia lihat pohon itu dan kemudian melihat buahnya yang kemerahan yang seperti memanggilnya untuk mendekat.
“ini pohon yang pertama kali akan ku ambil hasilnya. Pohon inilah yang akan menjadi awal perjuanganku,” katanya dalam hati.
Ia mulai memanjat pohon didekatnya dan menebas gantungan buah sawit yang berada di atas kepalanya. Tinggi yang tidak memadai sedikit menyulitkannya dalam bekerja. Jantungnya semakin berdegup kencang mengikuti semangatnya mengambil buah-buah sawit yang bergantungan tersebut. Keringat mulai bercucuran di seluruh tubuhnya.
“huufffttt.....” ia menghela nafasnya.
Otaknya mulai memerintahkannya untuk beristirahat sejenak. Dilihatnya buah-buah sawit hasil kerja kerasnya. Hasilnya tidak banyak, menurutnya itu tidak sesuai dengan keringatnya.
“ok, ayo mulai lagi. Masih banyak yang harus digarap.” Teriak anak itu sambil menuju pohon lainnya.
Ia ulangi lagi apa yang sudah ia kerjakan sebelumnya. Ia berlatih terus untuk mempercepat kerjanya. Meminimalisir waktu kerjanya namun dengan hasil yang memuaskan. Memang ini hari pertamanya, tetapi ini adalah awal perjuangannya. Sejak awal ia sudah bertekad untuk bekerja secara maksimal. Perlahan-lahan matahari mulai menyinari ubun-ubunnya. Panasnya matahari tidak mengurangi niatnya untuk berhenti. Matanya yang penuh semangat terus melihat pohon-pohon itu. Ia panjat pohon itu dan ia potong buah-buahnya. Namun tiba-tiba,.......
“bruuuukkkk!!” ia terjatuh dari pohon.
Anak ini mencoba bangkit, sikunya dan lututnya lecet tergores kerikil. Ia terlihat meringis kesakitan. Ia kemudian mencoba berjalan kembali ke pondok tempat ia tinggal. Ia tinggalkan pekerjaannya yang belum selesai.
Sepatu boot dan arit ia letakkan di sebelah pondok. Ia mencoba seperti tidak terjadi apa-apa. Ia kemudian menuju ke belakang pondok untuk membersihkan lukanya. Genangan air di dalam ember kemudian ia percikkan ke lukanya. Berharap dapat mengurangi rasa sakit dan kotoran di lukanya. Tiba-tiba muncul kakaknya yang melihat luka di tubuh anak itu.
Iwan! Masya ALLAH. Kenapa kau bisa luka seperti itu? luka kena apa?” tanya kakaknya setelah mendekati anak ini.
daan, tidak apa-apa” jawabannya sambil menahan sakit.
Anak yang dipanggil Iwan itu mulai masuk ke pondok melewati kakaknya yang terlihat khawatir dengan dirinya. Mungkin ia merasa malu dengan kakaknya yang terus memperhatikan luka di tubuhnya. Ia tau bahwa laki-laki memang tidak boleh mengeluh. Itu yang ia ingat dari kata-kata bapaknya.

Ia kemudian duduk di pelataran rumah dan duduk diam di sana. Merenungi hal yang tadi terjadi pada dirinya. Mungkin ini pelajaran pertama yang harus diambilnya. Namun, itu yang membuat semangatnya semakin menggelora untuk bekerja di perkebunan kelapa sawit tersebut. mencari secuil uang untuk memenuhi perut kecilnya dengan segenggam nasi.

0 Komentar