Kelumpang, sebuah desa di tepian barat kota
sekura. Sebuah desa yang membentang di tepian sungai sekura. Dari jauh mata
memandang terhampar luas kebun karet dan pepohonan yang membentuk nuansa hijau
di iringi suara-suara burung kecil yang bernyanyi sambil terbang tinggi
melintasi pohon-pohon yang menjulang, menghijau seperti savana di atas awan.
Awan-awan berjalan pelan dan berkumpul di bawah hutan hujan.
Pagi itu
suasana cerah. Matahari bersinar dengan indahnya bersatu dengan angin yang
berhembus pelan menuju sungai yang mengalir lamban. Sebuah keluarga terlihat
bersenda gurau di pelataran rumah mereka. Sembari menyeduh kopi dan teh hangat.
Menyemarakkan suasana indah dalam keluarga.
Sebuah
keluarga yang sederhana dengan 3 orang anaknya. Kedamaian dan ketenteraman
terlihat dari raut wajah mereka. Bercerita dan bercanda tentang sanak keluarga
mereka. Salah seorang anak laki-laki tertawa mengikuti candaan yang dilontarkan
oleh ibu dan bapaknya. Ia memandang keluarganya, menyimpan keinginan untuk
membahagiakan orang tuanya serta adik dan kakaknya. Kemudian dialihkannya
pandangan menuju rumah yang menjadi tempat keluh kesahnya. Menjadi tempat
tinggal dan makannya selama ini. Ia adalah seorang anak yang meskipun tidak
tamat SD namun tetap memiliki tekad dan keyakinan untuk membantu keluarganya.
Hari ini menjadi titik awal perjuangannya di kebun kelapa sawit. Mengikuti
jejak abang tertuanya yang lebih dulu bekerja hingga ke negeri tetangga untuk
membiayai keluarganya. Hari ini menjadi awal pembuktian janji-janjinya terhadap
keluarganya. Tekad dan cita-cita yang
kuat jelas terlihat, terpapar dari matanya. Umur yang muda tidak menghalanginya
untuk menapak masa depan.
Ketika
matahari mulai tinggi menghangatkan ke sebuah desa yang kecil, suasana terasa
berubah seakan menghilangkan suasana yang ceria seperti pagi tadi. Pukul 01.00,
anak itu berangkat meninggalkan orang tuanya. Pergi meninggalkan dekapan hangat
dan senyuman dari orang tuanya. Ia pergi bersama dengan doa orang tuanya. Kakak
dan abang iparnya juga turut ikut bersamanya, bekerja di daerah yang sama
dengannya. Berusaha untuk menjaga dan merawatnya meskipun ia sudah menjadi
pribadi yang kuat dan mandiri.
Ia menuju
daerah yang sama sekali belum dikenalnya. Menggunakan mobil yang bergerak
kencang melintasi kebun karet yang disinari mentari dan sinarnya menembus di
antara celah-celah pohon. Daerah inilah yang nanti akan dirindukannya. Bersama
dengan suasana kebun karet serta pala yang dimiliki keluarganya.
Hari-hari
perjuangannya segera di mulai. Hari itu, matahari mulai menampakkan sinarnya di
ufuk barat. Terlihat jelas di ujung perkebunan. Matahari yang tersipu malu
menampakkan sinarnya, membangunkan ia dari tidur lelap sehingga melunturkan
semua mimpi-mimpi indah di tidurnya.
Pagi itu
amatlah cerah. Halimun tidak setebal biasanya. Sinar matahari menembus
celah-celah ranting dan dedaunan, menerangi perkebunan kelapa sawit yang
membentang luas di tanah borneo. Anak manusia tadi mulai membangun semangatnya.
Kepalanya melihat ke langit-langit pohon yang tertembus cahaya mentari.
Pandanganya kuat menuju jalan di antara pohon-pohon kelapa sawit yang akan
digarapnya. Pohon-pohon yang menjadi teman kesehariannya untuk memenuhi
perutnya serta keluarganya di sana. Sepatu boot
dan arit menjadi alatnya menjadi alat yang akan membantunya menggarapa
lahan-lahan kelapa sawit.
Ia berusaha
mengenal lingkungannya yang baru. Merasakan setiap aura dan atmosfernya. Kini
ia menuju pohon yang dirasanya cukup untuk diambil buahnya. Ia lihat pohon itu
dan kemudian melihat buahnya yang kemerahan yang seperti memanggilnya untuk
mendekat.
“ini pohon
yang pertama kali akan ku ambil hasilnya. Pohon inilah yang akan menjadi awal
perjuanganku,” katanya dalam hati.
Ia mulai
memanjat pohon didekatnya dan menebas gantungan buah sawit yang berada di atas
kepalanya. Tinggi yang tidak memadai sedikit menyulitkannya dalam bekerja.
Jantungnya semakin berdegup kencang mengikuti semangatnya mengambil buah-buah
sawit yang bergantungan tersebut. Keringat mulai bercucuran di seluruh
tubuhnya.
“huufffttt.....”
ia menghela nafasnya.
Otaknya mulai
memerintahkannya untuk beristirahat sejenak. Dilihatnya buah-buah sawit hasil
kerja kerasnya. Hasilnya tidak banyak, menurutnya itu tidak sesuai dengan
keringatnya.
“ok, ayo mulai
lagi. Masih banyak yang harus digarap.” Teriak anak itu sambil menuju pohon
lainnya.
Ia ulangi lagi
apa yang sudah ia kerjakan sebelumnya. Ia berlatih terus untuk mempercepat
kerjanya. Meminimalisir waktu kerjanya namun dengan hasil yang memuaskan.
Memang ini hari pertamanya, tetapi ini adalah awal perjuangannya. Sejak awal ia
sudah bertekad untuk bekerja secara maksimal. Perlahan-lahan matahari mulai
menyinari ubun-ubunnya. Panasnya matahari tidak mengurangi niatnya untuk
berhenti. Matanya yang penuh semangat terus melihat pohon-pohon itu. Ia panjat
pohon itu dan ia potong buah-buahnya. Namun tiba-tiba,.......
“bruuuukkkk!!” ia terjatuh dari pohon.
“bruuuukkkk!!” ia terjatuh dari pohon.
Anak ini
mencoba bangkit, sikunya dan lututnya lecet tergores kerikil. Ia terlihat
meringis kesakitan. Ia kemudian mencoba berjalan kembali ke pondok tempat ia
tinggal. Ia tinggalkan pekerjaannya yang belum selesai.
Sepatu boot dan arit ia letakkan di sebelah
pondok. Ia mencoba seperti tidak terjadi apa-apa. Ia kemudian menuju ke
belakang pondok untuk membersihkan lukanya. Genangan air di dalam ember
kemudian ia percikkan ke lukanya. Berharap dapat mengurangi rasa sakit dan
kotoran di lukanya. Tiba-tiba muncul kakaknya yang melihat luka di tubuh anak
itu.
“Iwan! Masya ALLAH. Kenapa kau bisa luka
seperti itu? luka kena apa?” tanya kakaknya setelah mendekati anak ini.
“daan, tidak apa-apa” jawabannya sambil
menahan sakit.
Anak yang dipanggil
Iwan itu mulai masuk ke
pondok melewati kakaknya yang terlihat khawatir dengan dirinya. Mungkin ia
merasa malu dengan kakaknya yang terus memperhatikan luka di tubuhnya. Ia tau
bahwa laki-laki memang tidak boleh mengeluh. Itu yang ia ingat dari kata-kata
bapaknya.
Ia kemudian
duduk di pelataran rumah dan duduk diam di sana. Merenungi hal yang tadi
terjadi pada dirinya. Mungkin ini pelajaran pertama yang harus diambilnya.
Namun, itu yang membuat semangatnya semakin menggelora untuk bekerja di
perkebunan kelapa sawit tersebut. mencari secuil uang untuk memenuhi perut
kecilnya dengan segenggam nasi.
0 Komentar