“KONGSI WARS” DI KALIMANTAN BARAT 1822-1854

PENDAHULUAN

            Istilah “Kongsi Wars” mengacu pada serangkaian pertikaian diantara para kongsi sendiri. “Kongsi Wars” sendiri mengacu pada tiga periode peperangan yaitu 1822-1824, 1850-1854 dan 1884-1885. Dalam banyak kasus, peranan dan dominasi orang-orang Cina dalam kegiatan ekonomi dianggap menjadi akar dan dasar dari permasalahan-permasalahan yang muncul baik yang bersifat eksternal maupun internal. Hal itu terkait dengann konflik yang terjadi di Distrik Cina yang mereka dirikan sehingga terlihat orang Cina sebagai determinan suatu konflik meskipun dalam tubuh mereka sendiri.
            Tahun 1822 menjadi batas awal makalah ini karena tahun 1822 menjadi awal perang kongsi pertama. Muncul berbagai polemik dari tubuh internal kongsi sehingga menyebabkan perang kongsi yang pertama. Tahun 1854 menjadi batas akhir periode makalah dimana pada tahun ini pemberontakan kongsi berhasil dipadamkan dan juga menjadi saat kejatuhan kongsi karena pemerintah Belanda semakin melarang adanya organisasi otonom sehingga membubarkan kongsi.
Pokok permasalahan yang perlu dianalisis pada dasarnya berkisar pada proses interaksi dikalangan orang-orang Cina hingga menyebabkan konflik internal yang berkelanjutan itu terjadi. Adanya pengaruh dari kekuatan politik diartikan sebagai determinan konflik. Oleh karena itu, makalah ini mencoba mencari jawaban yang menyangkut ha-hal antara lain : (1) latar belakang terbentuknya kongsi, (2) kekuatan politik yang mempengaruhi konflik, (3) perbenturan dan konflik internal yang terjadi.
Pertanyaan-pertanyaan ini diharapkan memperjelas suatu bentuk pertahanan diri atau survivalisme kongsi sebagai suatu organisasi sosial-ekonomi. Apa saja yang melatarbelakangi konflik internal yang terjadi dan bagaimana bentuk penyelesaiannya. Mengapa juga Belanda bisa menjadi determinan dalam konflik antar kongsi. Hal itu diharapkan dapat membantu perkembangan penulisan sejarah mengenai sejarah lokal Kalimantan Barat.

Masuknya Orang Cina dan Tambang Emas

Sampai sekarang, masih belum diketahui secara pasti sejak kapan orang-orang Cina melakukan kontak dan bermukim di Kalimantan Barat. Bukti-bukti mengenai hubungan antara Provinsi Guangdong dan Kalimantan Barat lebih bersifat ekonomi.[1] Meskipun hubungan yang terjalin sudah berabad-abad bahkan sebelum datangnya orang Eropa ke Kalimantan Barat pada abad XVI, namun orang-orang Cina datang dalam jumlah besar pada pertengahan abad XVIII. Orang-orang Cina ini diundang oleh penguasa lokal untuk mendulang emas di Kalimantan Barat. Selanjutnya karena semakin banyaknya orang Cina yang datang, maka mereka membentuk sebuah Kongsi.
Kalimantan Barat menjadi daerah yang sangat diminati oleh para penambang saat itu. Terlebih lagi dengan jumlah tambang emas yang ada di bumi khatulistiwa. Kerajaan-kerajaan lokal memang menggunakan tambang-tambang emas sebagai salah satu pendapatan mereka. Sebelumnya tambang-tambang emas itu dikelola oleh orang-orang melayu dan dayak. Tetapi, penguasa lokal kurang puas dengan produktivitas emas dari para penambang melayu dan dayak. Akhirnya, orang-orang Cina dipilih karena dianggap memiliki keahlian dalam hal ini.
Panembahan Mempawah yang pertama kali menggunakan orang Cina sebagai penambang di daerahnya pada tahun 1740an. Tahun 1760, Sultan Umar Akkamadin II dari Sambas memberikan hak pada orang-orang Cina yang datang untuk menambang emas di pinggir sungai Benuwang. Kontribusi besar mereka berpengaruh pada peningkatan pendapatan Kerajaan karena pembayaran pajak secara rutin dilakukan. Sebagai hubungan timbal balik, kerajaan memasok beras, garam dan candu dengan harga yang ditentukan dan lebih bersifat mengikat mereka.
Hubungan yang terjalin menunjukkan adanya persetujuan secara sepihak yang dilakukan oleh kerajaan lokal. Semua hasil dan nilai tukar ditentukan oleh kerajaan setempat sehingga terlihat memonopoli hasil tambang. Selain membayar pajak untuk penambangan emas, mereka juga diharuskan untuk membayar pajak atas kedatangan mereka. Selain itu adanya pajak yang lebih tinggi jika mereka meninggalkan Borneo. Kebijakan-kebijakan penguasa lokal yang mengikat dan ditambah lagi dengan semakin banyaknya orang Cina yang datang membuat mereka mulai berpikir untuk melawan. Kongsi yang mereka bangun dijadikan sebagai basis dan organisasi untuk menambang lebih efisien dan memungkinkan untuk melawan kerajaan lokal.
Pertumbuhan dan Perkembangan Kongsi
Perkembangan pertambangan yang cukup pesat mengakibatkan meningkatnya jumlah imigran Cina. Mereka mulai menyebar dari Larah ke Montrado dan sekitarnya. Imigran-imigran ini yang kemudian menjadi kekuatan sosial-ekonomi dalam mengembangkan daerah di Kalimantan Barat. Semakin banyaknya penambang juga membuat mereka sadar bahwa harus ada yang mengorganisasikan mereka dalam kelompok-kelompok kecil. Pemimpinnya dipilih oleh mereka sendiri dan membagi keuntungan dengan para anggotanya. Tradisi ini memang sudah mereka terapkan sejak lama di Tiongkok. Mereka sadar bahwa mereka berasal dari daerah yang sama serta dengan tujuan yang sama. Kelompok-kelompok ini yang berkembang menjadi kongsi di distrik-distrik Cina seperti Sambas, Mempawah, Pontianak dan Landak. Beberapa faktor memang melatarbelakangi pembentukan suatu kongsi. Tidak hanya karena kesamaan daerah dan tujuan, tetapi adanya usaha mereka untuk mempertahankan diri dari musuh juga menjadi faktor pembentukan suatu kongsi.
Semakin meningkatnya jumlah imigran cina memang diluar perkiraan para penguasa setempat. Hal itu berpengaruh pada jumlah kongsi yang terbentuk. Para imigran Cina juga tidak lagi tunduk pada para penguasa Melayu. Mereka membuat tambang-tambang baru sehingga status mereka tidak lagi buruh sultan dan mereka mengusahakan tambang mereka sendiri. Kongsi-kongsi yang muncul mulai membentuk sebuah federasi yang terlihat seperti sebuah republik. Ada tiga federasi besar di Borneo Barat yaitu Fosjoen di Monterado, Lanfang di Mandor dan Samtiaokioe. Pembentukan federasi ini dilakukan demi menghadapi faktor-faktor dari luar seperti lingkungan alam, orang-orang dayak, dan para penguasa Melayu. Tetapi tidak dipungkiri bahwa konflik internal juga terjadi selama federasi itu berdiri.
            Sejak awal kongsi sudah terlihat memiliki perkembangan yang cukup pesat. Selama periode ke-2 abad XVIII hingga akhir abad XVIII memang menjadi waktu perkembangan Kongsi  Cina di Bornoe Barat. Konflik-konflik yang terjadi pada masa itu lebih bersifat eksternal. Contohnya pada tahun 1770, terjadi konflik antara Cina-Dayak. Terbentuknya federasi-federasi juga berpengaruh pada keberlanjutan kongsi-kongsi kecil dan lemah. Kongsi-kongsi seperti ini meminta bantuan secara terpaksa pada kongsi yang mereka anggap lebih kuat. Namun, terkadang mereka malah dijadikan sekutu dalam menghadapi permasalahan dan konflik dari kongsi yang diminta bantuan. Karena bebasnya berpindah keanggotaan, maka bisa saja yang tadinya sekutu lalu berubah menjadi musuh. Jadi, kongsi-kongsi yang memiliki kepentingan mengusahakan berbagai cara untuk menarik kongsi-kongsi kecil bergabung dengan mereka. Perlunya membina persekutuan dengan sukarela dapat mempengaruhi kongsi kecil untuk berdiri sendiri.
Konflik Kongsi dan Perlawanan
            Benih-benih konflik sebenarnya sudah mulai berkembang sejak akhir abad XVIII. Adanya usaha untuk memperluas wilayah yang disebabkan dari berkurangnya kandungan emas menjadi penyebab pertikaian antarkongsi. Harlem siahaan menuliskan bahwa konflik pertama-tama merupakan upaya mencapai pemenuhan kepentingan ekonomi dengan cara mobilisasi dan organisasi politik.[2] Memang kepentingan ekonomi sangat menonjol, tetapi faktor-faktor seperti politik dan sosial juga tidak dapat dipungkiri.
             Pada tahun 1822, Perang Kongsi Pertama berkobar. Perang tersebut berakar dari beberapa insiden yang terjadi. Bermula dari laporan bahwa adanya pembunuhan yang dilakukan oleh seorang anggota Thaikong terhadap anggota Samtiaokioe. Adanya ketidakpuasan terhadap dewan Foesjoen yang tidak memberikan keadilan pada Samtiokioe menyebabkan Samtiaokioe meminta bantuan pada Belanda dan Sambas untuk menghadapi Thaikong. Pasukan Belanda yang setuju lalu mengirimkan pasukannya. Tanpa penyelidikan lebih lanjut, Belanda kemudian menyerang Thaikong di Monterado pada April 1823. Untuk meredam perlawanan, Belanda melakukan pembagian ladang-landang emas pada kongsi yang terlibat. Daerah Monterado bagian utara diberikan pada Samtiaokioe termasuk Sepang. Sedangkan Thaikong masih dibiarkan menguasai daerah di Monterado hingga Sungai Raya. Beberapa serangan balasan dilakukan oleh Foesjoen. Sisa pasukan mereka kemudian menyerang  sisa pasukan Belanda di Singkawang yang bertugas menghukum kongsi di Monterado.[3] Pasukan Belanda memang datang kembali pada tahun 1825, tetapi ditarik mundur untuk menghadapi perang jawa.
            Pada periode 1830an-1840an, perselisihan lebih ditunjukkan dengan Belanda. Hubungan Belanda dengan kongsi semakin buruk dikarenakan adanya berbagai penyelundupan yang dilakukan oleh kongsi-kongsi yang tidak senang dengan peraturan Belanda. Sementara itu, dua kongsi yang berada dalam federasi meninggalkan Foesjoen pada tahun 1837 sehingga hanya menyisakan Thaikong di Monterado. Kedatangan James Brooke dari Inggris ke serawak memaksa Belanda untuk meningkatkan pengawasan di Borneo Barat. Sehingga pada periode selanjutnya, hubungan dengan para kongsi akan lebih tegas dan pengaruh Belanda semakin besar dalam perang kongsi.
            Dalam beberapa hal, kedatangan Belanda menjadi salah satu faktor pendorong berkembangnya konflik. Keterlibatan Belanda dalam perang kongsi 1822 menjadi bukti awal bagaimana kekuasaan kolonial masuk ke dalam permasalahan internal kongsi. Selain itu, adanya Belanda membuat anggota Foesjoen banyak yang melepaskan diri dan lebih berpihak pada kolonial. Tetapi, faktor lain juga tidak bisa dikesampingkan. Kekuatan kongsi yang semakin besar seperti Thaikong memaksa kongsi kecil untuk mencari daerah baru sehingga muncul sentimen-sentimen yang berujung pada konflik terbuka.
            Pertengahan abad 19 menjadi periode dimana ketegangan-ketegangan semakin memuncak. Blokade yang diterapkan Belanda memaksa kongsi-kongsi untuk melakukan penyelundupan bahan-bahan pokok. Tentu saja hal ini membuat rugi Belanda ditambah lagi dengan keuntungan yang sedikit dari monopoli di Borneo barat. Meskipun banyak kongsi melakukan hal yang sama, tetapi Thaikonglah yang paling disalahkan dalam hal ini. Thaikong yang merasa paling dirugikan kemudian memulai provokasi. Insiden sampan pukat yang terjadi di Sedau dan baku tembak antara Thaikong dan Samtiaokioe yang merupakan sekutu Belanda menjadi alasan Belanda untuk menyerang Thaikong. Satu-satunya jalan yang dipikirkan adalah membubarkan kongsi-kongsi yang sedang bertikai.
            Ketegangan memuncak pada bulan Agustus 1950 ketika Thaikong menyerang wilayah Samtiaokioe di Sepang, Seminis dan Sebawi. Tidak hanya karena perebutan lahan tambang, tetapi adanya rasa untuk mempertahankan diri dari ancaman luar. Pasukan Belanda yang didatangkan pada september 1950 tidak sepenuhnya berhasil menumpas konflik. Pasukan Thaikong yang bertahan di Gunung Pemangkat sangat menyulitkan Belanda. Mereka bisa mengawasi segala bentuk aktivitas yang terjadi di kota. Belanda akhirnya mundur dikarenakan kuatnya Thaikong karena sudah mengetahui seluk beluk Pemangkat dan terlebih lagi dengan tewasnya Jenderal Sorg.
            Perang di Pemangkat memang dimenangkan oleh Thaikong yang sebetulnya bertujuan agar Samtiaokioe tidak lagi melakukan aktivitas pertanian di Pemangkat. Setelah peperangan itu, muncul perundingan yang dilakukan oleh para delegasi dari setiap kongsi yang dipimpin Tjang Ping. Mereka kemudian meminta maaf pada gubernur jenderal pada akhir bulan maret 1851. Residen Willer lalu berencana untuk membangun administrasi regent yang baru yang disebut Foesjoen Tjoengthang. Pembentukan ini mungkin dengan tujuan menghilangkan nama “kongsi”. Regent dipilih berdasarkan keputusan pemerintah, para anggota kongsi hanya boleh mencalonkan 4 orang saja. Regent yang terpilih kemudian menjabat selama 1 tahun.[4] Tjang Ping kemudian dipilih menjadi Regent pada bulan juni 1851.
            Meskipun perundingan telah dilakukan. Tetapi, itu dilakukan tanpa melibatkan para penambang sebagai kelompok yang paling penting dalam perundingan tersebut. Sistem adminitrasi yang akan diterapkan oleh Willer juga banyak ditentang oleh para penambang dimana mereka ingin jabatan seorang regent hanya selama 4 bulan, namun Belanda menetapkannya selama 1 tahun. Pengabaian berbagai perlawanan dari para penambang di Monterado ditambah lagi dengan pengangkatan Tjang Ping yang dianggap penghianat oleh para penambang, maka sebuah letupan kecil saja cukup untuk meledakkan sebuah konflik terbuka.
            Residen Willer yang berusaha membubarkan kongsi kemudian memerintahkan Thaikong dan Samtiaokioe untuk menyerahkan cap resmi mereka. Penyerahan cap kongsi dianggap sebagai bukti tunduk kepada pemerintah. Selain itu, cap merupakan simbol resmi kekuatan kongsi. Rapat kemudian dilakukan untuk membicarakan usul ini. Tetapi, para penambang yang mendominasi rapat kemudian menolak usul tersebut. Mereka juga menuduh Tjang Ping telah berangan-angan menjadi seorang “mandarin”.[5] Meskipun pada akhirnya cap tersebut tetap diberikan pada Belanda. Tetapi, cara itu sengaja digunakan untuk membuat sedikit percaya dengan kongsi dan mulai mengendurkan blokade yang dilakukan Belanda. Sehingga kongsi dapat melakukan penyelundupan kembali.
            Pada tanggal 22 Februari 1853 setelah perayaan tahun baru imlek, para penambang di Monterado akan memilih ketua kongsi yang baru. Mereka masih tidak setuju dengan peraturan Belanda bahwa ketua kongsi harus dipilih oleh Belanda dengan masa jabatan selama 1 tahun. Para penambang tetap menggunakan peraturan lama mereka dimana ketua kongsi menjabat selama 4 bulan. Mereka kemudian mengangkat pemimpin yang baru tanpa melibatkan Belanda. Selain itu, mereka juga memenjarakan dan menganiaya kerabat Tjang Ping. Tjang Ping sebelumnya telah menyadari hal ini hingga akhirnya ia melarikan diri ke Sambas. Pelatuk tadi akhirnya meledak dan menimbulkan konflik terbuka.
            Pada bulan maret 1853, tentara dari Jawa kemudian didatangkan. Dalam meredam serangan Thaikong, Belanda semakin meningkatkan blokade di sungai dan laut. Semua daerah-daerah kecil berada dalam pengawasan militer Belanda. Berita tantang blokade yang dilakukan Belanda sudah didengar oleh orang-orang Cina. Mereka mengatakan bahwa lebih baik mati berjuang daripada mati kelaparan.[6] Thaikong lalu menyerang Seminis pada bulan mei dan berhasil mengusir orang-orang Samtiaokioe. Militer Belanda berusaha untuk merebut Seminis melalui Sungai Biru. Dengan seranag dari 300 prajurit militer Belanda, Thaikong mundur ke perbukitan.
            Konflik sedikit mendingin selama tahun baru Cina januari 1854. Jalan negosiasi sangat terbuka lebar pada saat itu. Namun, Andressen yang tiba pada bulan maret lebih memilih merencanakan penyerangannya. Satu bulan lebih militer Belanda menyiapkan serangan. Semua pasukan dipusatkan di Sambas. Tanggal 10 Mei 1854, semuanya sudah siap dengan lebih dari 1700 pasukan. Selakau menjadi jalur yang dipilih untuk menduduki Singkawang.[7] Singkawang berhasil diduduki pada tanggal 18 Mei 1854. Singkawnag dijadikan sebagai pusat persediaan makanan. Setelah didudukinya Singkawang, kongsi-kongsi kecil di Lumar, budok, dan Lara menyerahkan diri dan menyatakan bahwa tidak ada hubungan dengan Thaikong.
            Pada tanggal 2 juni 1854, militer Belanda tiba di Monterado yang menjadi pusat kongsi Thaikong. Tetapi kedatangan mereka disambut oleh penduduk kota yang langsung menyerahkan diri. Para pemberontak melarikan diri ke perbukitan dan membentuk kelompok-kelompok kecil. Pada bulan september 1854, dilakukan operasi pembersihan pemberontak di kota Bengkayang. Berkat strategi isolasi militer Belanda, pasukan Thaikong sangat sulit melakukan kontak untuk mencari sekutu sehingga pemberontakan dapat ditumpas.
KESIMPULAN

            Kedatangan orang-orang Cina di Kalimantan Barat menjadi titik awal dalam perkembangan kegiatan pertambangan di Kalimantan Barat. Kedatangan imigran Cina ini menjadi faktor yang formatif karena pihak kolonial memberikan respon yang positif terhadap kedatangan mereka. Keuletan dan semangat kerja yang dimiliki oleh Orang Hakka dalam pertambangan dimanfaatkan oleh para kolonis untuk meraup keuntungan. Kongsi-kongsi yang terbentuk menjadi hasil dari pemanfaatan yang dilakukan oleh para kolonis. Kongsi terbentuk dari adanya rasa sepenanggungan dan rasa ingin mempertahankan diri.
            Perang kongsi yang terjadi berasal dari usaha mereka untuk meningkatkan keuntungan pertambangan dengan cara memperebutkan lahan tambang yang masih kosong. Terkadang mereka juga mengambil lahan tambang yang sudah dimiliki oleh kongsi lain sehingga timbul konflik diantara mereka. Keuntungan yang semakin menipis disebabkan dari semakin banyaknya imigran yang datang dan juga monopoli yang dilakukan Belanda. Hal itu memaksa mereka untuk berusaha menyeimbangkan keuntungan mereka.
            Mulai terlibatnya Belanda diawali dari politik ekonomi mereka dimana adanya blokade terhadap tindakan penyelundupan yang dilakukan orang-orang Cina. Insiden candu di Sedau tahun 1819 memaksa Belanda untuk terlibat dengan permasalahan di Kalimantan Barat. Meskipun pada awalnya, keterlibatan itu hanya mencakup segi-segi ekonomis. Tetapi, pada akhirnya tujuan itu berkembang menjadi pengawasan teritorial. Hal itu disebabkan oleh adanya tekanan-tekanan dari inggris yang berada di serawak.
            Dihapusnya Kongsi Thaikong dan Samtiaokioe setelah tahun 1854 dianggap sebagai “the complete extenction of kongsis”. Hal itu dikarenakan setelah pemberontakan yang dilakukan oleh kongsi Thaikong, tidak ada lagi pemberontakan besar yang mengancam politik ekonomi Belanda di Kalimantan Barat. Meskipun masih ada kongsi lanfang yang terus bediri, tetapi kongsi ini masih pro terhadap Belanda sampai tahun 1885.

           

DAFTAR PUSTAKA

Bingling, Yuan, Chineses Democracies: A study of the Kongsis of West Borneo (1776-1884),  
Leiden: Research School of Asian, African, and Amerindian Studies, 2000.
Hari, Poerwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang, Depok: Komunitas Bambu,  2005.
Harlem, Siahaan, Konflik dan Perlawanan : Kongsi Cina di Kalimantan Barat, 1770-1854,

Jakarta: Prisma, 1994.

Heidhues, Mary Somers, Penambang Emas, Petani, dan Pedagang di Distrik Tionghoa
Kalimantan Barat, Jakarta: Yayasan Nabil, 2008.
           





[1] Hari, Poerwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang, Depok: Komunitas Bambu, 2005, hlm. 117.
[2] Harlem, Siahaan, Konflik dan Perlawanan : Kongsi Cina di Kalimantan Barat, 1770-1854, Jakarta: Prisma, 1994, hlm.51.
[3] Heidhues, Mary Somers, Penambang Emas, Petani, dan Pedagang di Distrik Tionghoa Kalimantan Barat, Jakarta: Yayasan Nabil, 2008, hlm. 76.
[4] Ibid., hlm. 88.
[5] Ibid., hlm. 91.
[6] Bingling, Yuan, Chineses Democracies: A study of the Kongsis of West Borneo (1776-1884), Leiden: Research School of Asian, African, and Amerindian Studies, 2000, hlm. 231
[7] Ibid., hlm. 237

0 Komentar