Tetralogi Buru dalam review - Pembacaan - Pengetikan - Penampilan

Fase Pembacaan 



Seperti biasa setiap hari kamis jam 10.00 pagi, kuliah menulis kreatif diadakan. Pagi itu, kami semua ditugaskan untuk membaca empat buku karya Pramodya Ananta Toer dalam Quartet Tetralogi Buru. Tetralogi Buru merupakan sebuah karya yang mengacu pada 4 novel tulisan Pramodya Ananta Toer. Aku berpikir ini merupakan tugas yang sangat membebankan. Terlebih lagi dengan sifatku yang memang malas untuk membaca. Tetapi, hal itu memang harus kulakukan. Tidak ada jalan pintas, membaca adalah jalan satu-satunya. “Anak Semua Bangsa” menjadi Novel pertama yang aku baca. Aku baru sadar bahwa novel ini merupakan seri kedua dalam Tetralogi buru. Tetapi, tetap kulanjtukan untuk membaca meskipun hanya sedikit mengerti di awal-awal cerita. Tokoh yang pertama kali aku temui adalah Minke yang kemudian aku anggap sebagai tokoh utama dalam novel tersebut. Minke yang merupakan seorang Indo yang berpendidikan lumayan tinggi menjadi menantu dari seorang gundik yang biasa dipanggil Nyai Ontosoroh. Nyai ini memiliki seorang anak bernama Anelies yang dinikahi oleh Minke. Selain itu, ada Darsam dan Panji Darman yang merupakan bawahan dari Nyai Ontosoroh. Penjelasan-penjelasan mengenai karakter-karakter tersebut mulai kumengerti setelah membaca hampir setengah dari novel tersebut. Novel ini bermula dengan cerita duka yang menyelimuti perasaan Minke. Ia dipisahkan dengan istrinya dan tiba-tiba mendengar kabar dari Panji Darma bahwa istrinya meninggal di Belanda. Tentu saja hal itu membuatnya terluka termasuk juga Nyai yang merupakan ibu Anelies. Namun, perasaan kehilangan itu mulai memudar seiring dengan waktu yang berjalan. Meskipun di akhir novel akan dicertakan lagi sedikit mengenai orang-orang yang memisahkan Anelies dengan Minke. Dalam 3 minggu, aku selesai membaca novel tersebut. Waktu yang cukup lama, setara dengan membaca 3 buah novel. Setelah membaca novel tersebut, aku tidak mau untuk melanjutkan membaca seri ke-3 ataupun ke-4. Mungkin disebabkan dari sifatku yang memang malas dari awal. Tapi setidaknya aku sudah menyelesaikan 1 buah novel. Artinya aku sudah menjalankan perintah meskipun itu tidak sempurna. Aku hanya berharap dari anggota kelompokku yang lain untuk menyelesaikan semua novel itu.

Fase Pengetikan

1 bulan lebih tugas itu telah diberikan. Biasanya setelah membaca sebuah buku/karya, seseorang pasti disuruh meringkas atau mereview dalam bentuk tulisan. Akan tetapi, untuk kali ini hal itu tidak berlaku karena kami diperintahkan lagi untuk membuat suatu drama yang berasal dan diambil dari penggalan novel Tetralogi Buru. Hal itu aku anggap menjadi sebuah tantangan yang unik meskipun sedikit sulit. Drama adalah sesuatu yang tidak hanya membutuhkan keberanian untuk menampilkannya, tetapi juga dibutuhkan faktor X seperti bakat yang mampu mendukung suatu drama.
Aku menyadari bahwa menulis teks drama bukanlah keahlianku. Apalagi hal itu butuh pengetahuan lebih mengenai drama/cerita yang akan dibuat. Akhirnya pekerjaan tersebut aku serahkan kepada Puput yang memang hatam dalam membaca Tetralogi Buru. Aku anggap ia yang paling mengetahui seluk beluk ke-4 novel tersebut. Dalam beberapa hari, drama tersebut selesai. Aku mendapatkan peran sebagai Babah Ah Tjong, seorang Cina perantauan yang menjual wanita-wanitanya untuk menyambung hidup. Ntah kenapa aku diberikan peran tersebut. Teman-temanku bilang bahwa aku adalah orang yang paling cocok memerani karakter tersebut. Mungkin itu karena aku tertarik pada orang-orang Tionghoa. Terlebih lagi, aku berasal dari kota yang mayoritas Tionghoa.
Latihan-latihan mulai dilakukan. Ketidakseriusan memang menjadi hambatan yang sangat mempengaruhi pada saat latihan. Selain itu, tidak adanya semangat untuk menjadi yang terbaik juga menjadi sebuah hambatan. Hal itu pasti berpengaruh pada saat tampil.


Fase Tampil

Tanggal 2 Mei 2013 merupakan jadwal kami untuk menampilkan hasil kerja keras kami selama ini. Hari itu, kami semua berkumpul di sebuah panggung terbuka pada pukul 10.00 Wib. Aku rasa bahwa aku tidak sepenuhnya siap dalam menampilkan drama ini. Tetapi, aku harus berusaha untuk menampilkan semaksimal mungkin. Aku harap teman-temanku juga bisa berusaha semaksimal mungkin. Tetapi, setelah semua persiapan yang telah kami buat. 1 anggota kelompok kami tidak datang. Ntah karena apa, setiap kali ditelepon, ia tidak pernah menganggkat telepon dari kami. Tentu saja hal itu membuat kami panik dan harus menata ulang kembali tokoh-tokoh yang akan dimainkan.
Setelah menata ulang kembali, kami lalu maju dan menampilkan semua yang kami bisa. Meskipun saat tampil masih ada ketidakseriusan dalam kelompok kami. Tapi, aku anggap itu menjadi sebuah keunikan dan pengalaman. Aku rasa sebuah drama tidak harus serius dan berdasarkan teks. Tetapi harus dapat menimbulkan tawa dan tepuk tangan yang semeriah mungkin sehingga dapat disebut sebagai sebuah penampilan.
Terima kasih pada semua yang telah memberikan tepuk tangan pada kami. Terima kasih juga sudah tertawa bersama kami. Serta terima kasih sudah menertawakan kami.
Tetralogi Buru menjadi sebuah karya yang aku anggap sebagai batu loncatan untukku. Tetralogi buru mengajarkanku sebuah keyakinan bahwa hidup itu adalah masalah dan masalah itu akan selalu hidup selama kita hidup.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.




0 Komentar